
Oleh: Tgk. Subki Muhammad Bintang
Aceh hari ini sedang lapar. Bukan lapar karena malas bekerja, tapi lapar karena beras makin langka, harga makin gila, dan pasokan makin tipis. Ironisnya, di saat rakyat Aceh berjuang untuk mendapatkan sekarung beras, Bulog justru sibuk mengirim beras ke Sumatera Utara. Apa ini bukan sebuah ironi yang menusuk logika dan hati nurani?
Bulog seharusnya menjadi benteng terakhir rakyat ketika pangan mulai sulit. Tetapi yang kita lihat hari ini, justru kebijakan yang seakan menutup mata terhadap jeritan masyarakat Aceh. Rakyat Aceh butuh makan hari ini, bukan menunggu belas kasihan setelah beras kita diangkut keluar.
Apakah Bulog tidak tahu kondisi pasar Aceh? Apakah mereka tidak melihat harga yang naik tanpa ampun? Apakah mereka tidak mendengar keluhan ibu-ibu di pasar, petani yang gagal panen, dan pedagang kecil yang kehilangan pembeli karena harga tak terjangkau? Kalau mereka tahu, mengapa tetap tega mengirim beras ke luar daerah?
Langkah ini bukan hanya keliru, tapi keterlaluan! Aceh saat ini ibarat rumah yang atapnya bocor, dindingnya retak, tapi malah dipaksa memberi genteng ke tetangga. Kalau stok di Aceh memang melimpah, silakan berbagi. Tapi jika Aceh sendiri sedang kekurangan, mengapa perut rakyat kita dikorbankan?
Kita tidak anti kerja sama antarprovinsi. Kita paham arti stabilitas nasional. Tapi stabilitas itu tidak akan pernah tercapai jika dicapai dengan mengorbankan rakyat sendiri. Sebelum mengirim keluar, pastikan rakyat di sini kenyang dulu. Jangan sampai slogan “Bulog untuk Rakyat” hanya jadi tulisan manis tanpa makna.
Saya tegas menyerukan: hentikan pengiriman beras dari Aceh ke provinsi lain sampai harga kembali normal dan stok benar-benar aman. Pemerintah daerah harus berdiri di depan, bukan hanya jadi penonton. Rakyat Aceh punya hak yang sama untuk makan, dan hak itu tidak boleh digadaikan demi kepentingan birokrasi atau angka statistik.
Jangan biarkan rakyat Aceh lapar di tanahnya sendiri!

